Sabtu, 26 Juni 2010

BELAJAR MENGENAL SIAPA KITA BELAJAR SEJARAH

Banyak pihak mempertanyakan manfaat pelajaran sejarah di sekolah. Tak heran kalau pelajaran yang satu ini diusulkan untuk dihapus dari kurikulum SD.

Seiring dengan perjalanan waktu, makin banyak pula peristiwa bersejarah yang tercatat di bumi pertiwi ini. Itu berarti kian tebal pula materi pelajaran sejarah yang mesti dipelajari anak-anak kita. Padahal, mana mungkin seorang anak menghapal semua kejadian, mulai dari zaman kerajaan hingga reformasi. Jangankan anak, orang dewasa pun pasti pusing menghafal nama puluhan kejadian sejarah, mulai tempat dan tahun kejadian maupun pelakunya. "Saya sendiri sebagai sejarawan, tidak hafal semua tanggal dan tahun kejadian sejarah di Indonesia ataupun biografi para pahlawan mulai zaman kerajaan hingga sekarang. Yang saya hafal cuma tanggal kemerdekaan dan Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia," tutur sejarawan dari LIPI, Prof. Dr. Taufik Abdullah.

Beliau adalah satu dari beberapa cendekiawan yang meragukan sistem pembelajaran sejarah di tingkat sekolah dasar negeri ini. Apa perlunya kita semua menghafal seluruh kejadian sejarah di Indonesia, bahkan di dunia? Tidak adakah cara atau teknik lain untuk mempelajari sejarah selain menghafal tahun, tempat dan pelaku sejarah secara mentah?

Keraguan itu, menurut Taufik, sama sekali tidak identik dengan sikap tidak cinta tanah air. Ia dan yang lainnya semata-mata berpijak pada pengalaman bahwa sejarah yang dipelajarinya sejak tingkat SD hingga SMU sama sekali tidak dirasa bermanfaat begitu mereka memasuki dunia perguruan tinggi atau dunia kerja.

TIDAK BERGUNA

Kesimpulannya, seperti ditegaskan Taufik, menghafal tahun-tahun kejadian sejarah, termasuk tahun-tahun pembodohan selama ratusan tahun menjadi bangsa jajahan tidak ada gunanya. "Mempelajari rentetan kejadian yang pernah dialami bangsa Indonesia, bukanlah urusan anak SD. Itu urusan para ahli sejarah, jadi buat apa anak usia SD mempelajarinya? Bahkan sejarah sebagai disiplin ilmu pun merupakan bahasan mahasiswa di universitas. Makanya salah besar jika sejarah dijadikan disiplin ilmu di tingkat sekolah dasar."

Sejarah, menurutnya, baru tepat diberikan kepada anak usia SD kalau sebatas wacana. Pendapatnya itu bertolak dari pengamatan, bahwa ditilik dari aspek perkembangan, anak usia ini masih menjalani proses sosialisasi tahap awal untuk mengenal lingkungan dan masyarakatnya. Jadi, akan lebih mengena jika pelajaran sejarah dimulai dari lingkungan sekitarnya dulu, karena "pelajaran" sejarah haruslah memiliki tujuan-tujuan berikut:

* Memperkenalkan anak didik pada lingkungan di mana mereka berada.

* Memperkenalkan dinamika masyarakat yang mereka alami sehari-hari.

* Membuka wawasan anak akan arti hidup dalam kelompok masyakat yang bisa berbeda-beda.

* Memperkenalkan anak akan arti waktu.

* Memperkenalkan etik moralitas dalam kehidupan bermasyarakat.

PESAN EDUKATIF

Yang tidak kalah penting, tandas Taufik, adalah cara pembelajaran sejarah itu. "Lakukan dengan menyertakan contoh-contoh konkret mengenai kejadian sejarah. Jadi, bukan sekadar menghafal kejadian-kejadian masa lalu. Di tingkat SD yang seharusnya diajarkan adalah nilai-nilai atau pesan-pesan moral dan idealisme perjuangan bangsa. Soekarno presiden pertama RI, contohnya, adalah seorang insinyur yang pintar. Di saat itu dia mudah saja memperkaya diri sendiri dengan keahliannya. Namun dia tidak memilih jalur tersebut tapi memilih berjuang serta rela menjadi orang buangan demi kemerdekaan bangsa dan negaranya. Begitu juga dengan Bung Hatta, wakil presiden pertama RI yang bergelar sarjana ekonomi."

Kalau hal semacam itu yang disampaikan, Taufik yakin anak bisa menangkap pelajaran moralitas yang luhur. Setidaknya anak akan tahu bahwa Soekarno dan Hatta bukan saja proklamator sekaligus presiden dan wakil presiden pertama. Mereka juga akan bangga bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang bersatu dan rela berkorban demi kemakmuran rakyat dan negaranya.

Hal lain, anak pun akan tahu arti cita-cita serta perjuangan demi mencapai cita-cita tersebut. Pun anak jadi punya kesadaran bahwa setiap orang harus memiliki cita-cita yang menjadi tujuan hidupnya. Cita-cita inilah yang dalam perjalanannya bisa menjadi motivator bagi diri anak.

Dengan contoh-contoh seperti itu, ia bisa paham akan dirinya yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Dari situ, diharapkan akan tumbuh pemikiran, "Aku bisa merasakan hari-hari yang menyenangkan seperti ini, dengan bersekolah, main, tidur dan menikmati ini-itu karena pengorbanan para pahlawan. Kalau begitu, supaya semua bisa enak, seluruh warga negara harus memakmurkan bangsa dan negara dulu, bukan malah mengutamakan diri sendiri."

MULAILAH DARI LINGKUP TERDEKAT

Selain itu, Taufik mengingatkan, bahwa dalam memberikan pembelajaran sejarah, kita tidak bisa menggeneralisasi materi yang akan disampaikan. Setiap anak perlu mengenal lebih dulu sejarah yang paling dekat dengan dirinya. Bagi anak yang tinggal di Jakarta, contohnya, angkatlah topik sejarah yang berkaitan dengan kota Jakarta dan para pahlawannya. Begitu juga dengan kota atau daerah lain.

Dengan kedekatan yang melibatkan kelekatan hubungan emosional akan tumbuh interest untuk belajar sejarah. Tentu saja, itu tidak berarti kita tak perlu menyampaikan sejarah daerah lain, seraya menekankan bahwa pembelajaran sejarah merupakan pendidikan ke arah demokratisasi. Jadi, "Bukannya indoktrinasi seperti selama ini."

Agar tujuan tersebut tercapai, maka harus dirumuskan strategi pedagogis yang baik. Artinya, harus dirumuskan terlebih dulu apa yang diharapkan dari pembelajaran sejarah terhadap anak. Setidaknya untuk anak SD, anak tahu dirinya adalah anggota suatu masyarakat. Ia jadi tahu pula mana nilai-nilai kebenaran dan mana yang salah dalam mengupayakan pemenuhan cita-citanya.

Sayangnya, seperti diakui Taufik yang pernah membaca buku-buku sejarah tingkat SD hingga SMA dalam 2 versi, buku-buku tersebut tidak memiliki strategi pedagogis yang jelas. "Semua yang ada di buku itu tidak perlu diajarkan. Untuk apa anak-anak SD mempelajari tahun terjadinya sejarah hingga biografi pelakunya?"

Kendati begitu, ia tidak setuju jika gara-gara kualitas buku yang buruk, pelajaran sejarah dihapus dari kurikulum SD. "Hanya saja format pembelajarannya harus diubah, karena syarat sebagai seorang warga negara, kan, dia harus tahu di mana dia hidup dan tahu mengenai sejarah negaranya. Tapi ya tidak berarti semua sejarah dari A sampai Z harus diberikan kepada anak usia ini."

Cara memberi pembelajaran, menurut Taufik lebih baik dalam bentuk cerita, seperti halnya cerita sejarah dalam pelajaran agama. Dengan cara seperti itu, pendidik bisa menyampaikan pesan yang bisa langsung masuk ke kalbu sekaligus otak anak. Anak pun akan menyukai dan tidak merasa terbebani.

Yang pasti, Taufik menampik kabar mengenai sejarah Indonesia yang telah dimanipulasi. "Sejarah itu tidak bisa diubah. Yang jadi masalah adalah bagaimana cara seseorang menyampaikan atau menceritakan sejarah tersebut. Nah, faktor inilah yang bisa 'dimainkan' sehingga bahwa sejarah kemudian dijadikan alat doktrinasi golongan tertentu memang bisa saja terjadi."

Namun, Taufik yakin hingga sekarang rekaman sejarah di Indonesia benar adanya atau sesuai dengan kenyataan. Kendati begitu, "Kemungkinan salah memang ada, tapi bukan sesuatu yang disengaja. Itulah mengapa sejarah senantiasa perlu diperbaiki atau diluruskan."

Gazali Solahuddin. Foto; Iman/nakita

0 komentar: