Selama ini masyarakat cuma tahu pembagian kelas di tiap jenjang sekadar penamaan. Artinya, kalau ada kelas A, B, dan C itu hanya agar jumlah murid dalam satu kelas tidak mbludak. Akan tetapi di awal tahun 90-an, penamaan kelas disinyalir mengalami pergeseran alias mengandung muatan kepentingan tertentu. Kelas A biasanya diperuntukkan bagi siswa yang memiliki tingkat kecerdasan prima atau jauh di atas rata-rata yang kemudian disebut kelas akselerasi. Lalu kelas B yang disebut kelas unggulan untuk mereka yang relatif pintar. Sementara kelas C atau kelas reguler untuk siswa yang prestasi akademisnya biasa-biasa saja.
Yang lebih memprihatinkan, pengadaan klasifikasi semacam itu bagi anak SD, tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah favorit/unggulan yang umumnya merupakan sekolah swasta, melainkan juga sudah mulai merambah ke sekolah-sekolah negeri yang pengelolaannya di bawah naungan pemerintah. Tak heran bila kemudian muncul berbagai ungkapan bernada pesimis. Contohnya, "Apa artinya Pembukaan UUD 45? Bukankah dengan sistem 'kasta' begini, anak pintar semakin pintar, sementara anak yang otaknya tidak cemerlang justru akan kian bodoh."
PERBEDAAN CARA MENGAJAR
Benarkah demikian? Untungnya tidak. Hal ini dijelaskan Margaretha Purwanti, Psi, M.Si. dari Unika Atma Jaya, Jakarta yang berkata, "Proses pembelajaran bagi anak didik, baik di kelas khusus maupun di kelas biasa, intinya sama saja. Yakni menggunakan kurikulum nasional dengan jenis dan jumlah mata pelajaran yang sama."
"Yang membedakannya," lanjut Retha, "hanyalah cara si guru mengajar." Di kelas khusus, para guru benar-benar memposisikan dirinya sebagai fasilitator. Metode yang dipakainya berbeda, beban pelajarannya lebih berat dari biasa, jam belajarnya lebih lama, dengan jumlah murid per kelas yang lebih sedikit.
Tak heran bila mereka belajar lebih cepat ketimbang teman-temannya di kelas biasa, karena di kelas ini guru hanya "bertugas" menyampaikan materi pokok saja. Untuk selanjutnya, siswalah yang mesti aktif mencari dan melakukan berbagai eksperimen.
Sebaliknya di kelas reguler, kecepatan guru mengajar biasanya disesuaikan dengan kemampuan anak-anak. Sebagai konsekuensinya, proses belajar jadi lebih lambat karena guru harus menerangkan satu per satu secara detail. Peran guru pun tak cuma sebatas fasilitator, melainkan berperan penuh sebagai pengarah dan pendamping.
PENTINGNYA SOSIALISASI
Munculnya pandangan pesimis, menurut Retha, boleh jadi karena masyarakat belum paham betul apa yang dimaksud kelas khusus di jenjang pendidikan dasar, selain belum siapnya masyarakat menerima kenyataan dan tuntutan zaman. Bukankah selama ini dianut keseragaman alias harus sama rata.
Di awal diterapkannya program ini, kekhawatiran semacam itu memang muncul dan menjadi perhatian khusus. Bahkan 10 tahun lalu, kala program ini dinyatakan layak untuk diterapkan di Indonesia, para pakar pendidikan dan psikologi pun sudah mempertimbangkan hal-hal yang mungkin terjadi, seperti kemungkinan anak yang masuk kelas khusus bakal merasa eksklusif. Sementara anak di kelas biasa jadi iri atau rendah diri lantaran merasa dirinya terlahir sebagai anak yang tidak pintar.
PAHAMI TUJUANNYA
Retha menegaskan sebenarnya pemisahan kelas seperti ini bertujuan memfasilitasi mereka yang memiliki potensi dan kemampuan di atas rata-rata anak seusianya. "Dengan dimasukkan ke kelas-kelas khusus, diharapkan kemampuan mereka tidaklah sia-sia dan bisa lebih tergali serta terasah optimal."
Pemikiran semacam itu bertolak dari pengalaman dunia pendidikan Indonesia. "Sering sekali terjadi, kan, kalau anak berbakat dicampur dengan yang biasa-biasa saja, umumnya si anak berbakat merasa bosan. Akhirnya ia mengalami penurunan prestasi atau malah jadi malas bersekolah. Sayang sekali, kan, kalau potensi atau aset berharga ini tersia-siakan begitu saja?"
Nah, agar sisi negatif pemisahan kelas yang kemudian berujung pada pembagian "kasta" tidak terjadi, "Peran aktif guru sangat dituntut untuk bisa mengondisikan anak-anak didiknya," ujar Retha. Caranya, sekolah yang memiliki kelas-kelas khusus harus punya program belajar bersama. Maksudnya, ada saat-saat tertentu dimana anak dari kelas khusus disatukan dengan anak dari kelas biasa. Contohnya, saat pelajaran kesenian, olahraga, komputer, keterampilan, atau karyawisata.
ORANG TUA PALING TAHU
"Jika di kemudian hari anak menunjukkan peningkatan yang signifikan, sudah seharusnya guru menawarkan anak untuk masuk kelas khusus." Penawaran seperti ini, menurutnya harus diberlakukan juga pada semua anak saat pemilihan siapa saja yang layak masuk kelas khusus. Selain itu, guru harus bisa menjelaskan kepada anak mengenai perbedaan tersebut, sekaligus berdiskusi dengan orang tua mengenai semua konsekuensi yang akan dihadapi.
Mengingat orang tua merupakan sosok yang paling tahu kondisi anaknya, peran aktif orang tua untuk memberikan pandangan kepada anak sebelum dia mengambil keputusan sangatlah penting. Sekiranya anak tak sanggup, orang tua harus rela mengatakan bahwa tak apa-apa masuk kelas biasa. Toh masuk kelas khusus pun bukan jaminan bahwa kelak anak akan jadi orang sukses.
Idealnya lagi, pemilihan atau seleksi siapa saja yang bisa masuk kelas khusus, dilakukan setelah anak beberapa tahun mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar. "Kurang lebih dilakukan saat anak menjelang naik kelas lima atau enam." Pertimbangannya, konsistensi belajar dan keberbakatan anak sudah bisa terlihat dari nilai-nilainya, sikapnya, kemampuannya bersosialisasinya, hingga cara belajarnya di kelas.
Adapun 3 syarat yang harus dipenuhi seorang anak untuk bisa masuk kelas khusus adalah skor di atas rata-rata untuk IQ, kreativitas, dan task comitment atau ketekunan dan tanggung jawab terhadap tugas. Idealnya, jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, yang bersangkutan tidak diperbolehkan masuk kelas khusus anak berbakat, kelas akselerasi, maupun kelas unggulan.
Sayangnya, tukas Retha, justru inilah yang langka dilakukan sekolah-sekolah di Indonesia yang punya kelas-kelas khusus. Kebanyakan sekolah hanya menggunakan skor IQ semata. Tak heran bila makin banyak sekolah yang memiliki pemisahan kelas-kelas seperti ini, makin banyak pula masyarakat yang mempertanyakan kesungguhan niatnya.
Sayangnya lagi, sekalipun tujuannya baik dan cita-cita membangun kelas-kelas khusus bagi anak-anak berbakat ini sungguh mulia, negara kita ternyata belum siap melakukannya. Kurikulum dan kebanyakan SDM, dalam hal ini guru, belum siap menerapkan program kelas khusus ini. Belum lagi tak sedikit orang tua yang menolak anaknya masuk kelas khusus. "Malah ada, lo, yang terang-terangan memilih mundur dari kelas khusus dengan berbagai alasan. Seperti khawatir anaknya stres karena tak sempat main atau melakukan aktivitas lain."
Gazali Solahuddin. Foto: Vitri/nakita